Keutamaan Surat AlFatihah

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)

Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)

Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah

Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).

Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).

Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdushallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk. terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
Baca Selengkapnya - Keutamaan Surat AlFatihah


ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Sunan Gresik

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

KISAH SUNAN GRESIK

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh. Makin lama makin riuh.

Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.

''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak, akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin.

Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.

Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur.

Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.

Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.'' Mendengar ''dakwah'' ini, disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam.

Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir.

Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin salat Istisqa' --untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam.

Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).

Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun ''pendaratan'' ini pun terdapat beberapa versi.

Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah Kerajaan Majapahit.

Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah.

Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar.

Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid.

Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ''Kakek Bantal''.

Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis.

Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia.

Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita mengenai ''Raja Majapahit'' itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya.

Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda. Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami Kencana Wungu.

Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.

Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total.

Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.

Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
Baca Selengkapnya - Sejarah Sunan Gresik


ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Sunan Drajat

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

ISAH SUNAN DRAJAT

Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.

Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.

Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang --ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat --termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

''Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,'' katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening --yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ''saling memuridkan''. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ''Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga....'' Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.
Baca Selengkapnya - Sejarah Sunan Drajat


ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Sunan Muria

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

1. ASAL USUL.
Sunan Muria
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria. Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2. SAKTI MANDRAGUNA.
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuatfisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak diatas gunung . Menurut pengalaman penulis jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai kemakam Sunan Muria (tidak kurang dari750 M).
Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik-turun, turun-naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat ,atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria.Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-murid diundang semua.Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus ,Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri .Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul DewiRoroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan.
Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu.
Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masingmasing.
Tamu dari jauh terpaksa menginap dirumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya. Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disiramnya sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya di culik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” Kata Sunan Muria.
Tetapi, ditengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa ?” tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.
Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut di Ajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu.” Demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup merebutnya sendiri,” Ujar Sunan Muria.
“Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang.
Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau !”Bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir ! Jangan menghalangi jalanku !” Hardik Pathak Warak.
“Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !”
“Goblok! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri !Kini aku hendak mengejar mereka!” Umpat Pathak Warak.
“Untuk apa kau mengejar mereka?”
“Merebutnya kembali!” jawab Pathak Warak dengan sengit .
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku !”Ujar Sunan Muria sambil pasang kuda -kuda.
Tampabasa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda .Dia merangsak ke Arah Sunan Muria dengan jurus –jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan ,Pathak Warak telah jatuh atau roboh ditanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu.
Siang malam mereka tak dapat tidur.Wajah wanita itu senantiasa terbayang.Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apalagi.
Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa dulu mereka buru –buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan mereka. (kemaluan).
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dasyart .Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya dipuncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari.
Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah ………. yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk diPulau Seprapat .Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.
Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akirnya tertarik dan masuk Islam secara suka rela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
“Memalukan ! benar-benar nista perbuatanmu itu ! Cepat kembalikan istri kakanda seperguruanmu sendiri itu !” hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu ? Mengapa tidak kau bela ?” protes Kapa.
“Apa ? Membela perbuatan durjana ?” Bentak Wiku Lodhang Datuk.
“Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi perkerti walau pelakunya Itu murid kusendiri!”
Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawa nya sendiri.
“Maafkan saya Tuan Wiku ….. “ ujar Sunan Muria agak menyesal.
“Tidak mengapa, sudah sepantasnya dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” Guman sang Wiku.
Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.
Baca Selengkapnya - Sejarah Sunan Muria


ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Sunan Kalijogo

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

1. ASAL USUL.
Sunan Kali Jaga
Sudah banyak orang tahu bahwa Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said.
Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban.Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Raden Said yang mengetahui hal itu pernah mengajukan pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Suatu hari dia menghadap ayahandanya.
“Rama Adipati, rakyat tahun ini sudah semakin sengsara karena panen banyak yang gagal,” kata Raden Said. “Mengapa pundak mereka masih harus dibebani dengan pajak yang mencekik leher mereka. Apakah hati nurani Rama tidak merasa kasihan atas penderitaan mereka ?”
Adipati Wilatikta menatap tajam kea rah putranya. Sesaat kemudian dia menghela nafas panjang dan kemudian mengeluarkan suara, “Said anakku ….. saat ini pemerintah pusat Majapahit sedang membutuhkan dana yang sangat besar untuk melangsungkan roda pemerintahan. Aku ini hanyalah seorang bawahan sang Prabu, apa dayaku menolak tugas yang dibebankan kepadaku. Bukan hanya Kadipaten Tuban yang diwajibkan membayar upeti lebih banyak dari tahun-tahun yang lalu. Kadipaten lainnya juga mendapat tugas serupa.”
“Tapi …… mengapa harus rakyat yang jadi korban.” Sahut Raden Said. Tapi Raden Said tak meneruskan ucapannya. Dilihatnya saat itu wajah ayahnya berubah menjadi merah padam pertanda hatinya sedang tersinggung atau naik pitam. Baru kali ini Raden Said membuat ayahnya marah. Hal yang selama hiduptak pernah dilakukannya.
Raden Said tahu diri. Sambil bersungut-sungut dia merunduk dan mengundurkan diri dari hadapan ayahnya yang sedang marah.
Ya, Raden Said tak perlu melanjutkan pertanyaan. Sebab dia sudah dapat menjawabnya sendiri. Majapahit sedang membutuhkan dana besar karena negeri itu sering menghadapi kekacauan, baik memadamkan pemberontakan maupun terjadinya perang saudara.
Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adapt istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui selukbeluk kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam.
Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.
Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebabnya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barangbarang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan, pencuri itu.Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan, tiga orang prajurid Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa kehadapan ayahnya.
“Sungguh memalukan sekali perbuatanmu itu !” hardik Adipati Wilatikta. “Kurang apakah aku ini, benarkah aku tak menjamin kehidupanmu di istana Kadipaten ini ?
Apakah aku pernah melarangnya untuk makan sekenyang-kenyangnya di Istana ini ?
Atau aku tidak pernah memberimu pakaian ? Mengapa kau lakukan perbuatan tecela itu ?”
Raden Said tidak mengeluarkan suara. Biarlah, bisik hatinya. Biarlah orang tak pernah tahu untuk apa barang-barang yang tersimpan di gudang Kadipaten itu kuambil. Biarlah ayahku tak pernah tahu kepada siapa barang-barang itu kuberikan. Adipati Wilatikta semakin marah melihat sikap anaknya itu. Raden Said tidak menjawabnya untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah.
Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya ? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya ?
Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.
Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isyá mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said, kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namun pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan di pukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu.Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan.Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Sang Adipati yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari Kadipaten Tuban ini !” kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri ! pergi ! jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari !”
Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu. Sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden said. Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Hati siapa yang takkan hancur mengalami peristiwa seperti ini. Raden Said bermaksud menolong fakir miskin dan penduduk yang menderita tapi akibatnya justru dia sendiri yang harus menelan derita. Diusir dari Kadipaten Tuban.
Orang tua mana yang tak terpukul batinnya mengetahui anak dambaan hati tiba-tiba berbuat jahat dan menghancurkan nama dan masa depannya sendiri. Tapi itulah peristiwa yang memang harus dialami oleh Raden Said. Seandainya tidak ada fitnah seperti itu, barangkali Raden Said tidak bakal menjadi seorang ulama besar, seorang Wali yang dikagumi oleh seluruh penduduk Tanah Jawa. Raden Said betul-betul meninggalkan Kadipaten Tuban.
Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang. Tentu saja sang ayah dan ibu kelabakan mengetahui hal ini. Segera saja diperintahkan puluhan prajurit Tuban untuk mencari Dewi Rasawulan tak pernah ditemukan oleh mereka.
Di dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan bahwa Dewi Rasawulan pada akhirnya telah ditemukan oleh Empu Supa, seorang Tumenggung Majapahit yang menjadi murid Sunan Kalijaga. Dewi Rasawulan kemudian dijodohkan dengan Empu Supa. Dan kembali ke Tuban bersama-sama dengan diantar Sunan Kalijaga yang tak lain adalah Raden Said sendiri.
2. MASA PENGGEMBLENGAN DIRI.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban ? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman ?
Karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas,” bisik Brandal Lokajaya dalam hati.
Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat ? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat !”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Raden Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “anak muda ………. Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap, dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.”
“Tetapi ………. saat ini hari masih siang, tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini.” Sahut Radeb Said. Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif, “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawab-jawab yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said. Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesiasiaan. Rumput ini tercabut ketika aku aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa ?” Tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa ! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa !” Jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini ?”
“Saya mengintai harta ?”
“Untuk apa ?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”
“Hemm, sungguh mulia hatimu, sayang …… caramu mendapatkannya yang keliru.”
“Orang tua ………. apa maksudmu ?”
“Boleh aku bertanya anak muda ?”
“Silahkan ………. “
“Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar ?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya manambah kotor dan bau pakaian itu saja.”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing.”
Raden Said tercekat.
Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.”Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam tubuh hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Di pandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi para penduduk miskin bantuan makan dan uang. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya !”
Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini.
“Kalau kau tak mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu !”
Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak mempergunakan sihir
Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya.Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti arenaren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
“Pasti dia seorang sakti yang berilmu tinggi. Menilik caranya berpakaian tentulah dari golongan para ulama atau mungkin salah seorang dari Waliullah, aku harus menyusulnya, aku akan berguru kepadanya,” demikian pikir Raden Said.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat, akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Seperti santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar.Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
“Tunggu ………. “ ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid …… “ Pintanya.
“Menjadi muridku ?” Tanya orang itu sembari menoleh. “Mau belajar apa ?”
“Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid ……“
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya ?”
“Saya bersedia …… “
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan didaratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila, dia berdo’a kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah membalut dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan, pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban.Mengapa ke Tuban ? Karena lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatnya, yaitu tingkat para Waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke dalam sungai.
Bahkan sedikitpun ia tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar dan rerumputan yang menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan kepada ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan setelah tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga Raden Said masuk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup untuk dipergunakan menyebarkan agama Islam.
Demikian sehingga tafsiran dari kisah legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang.
3. KERINDUAN SEORANG IBU.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ketempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan istrinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Di antaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan istrinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan Adipati Tuban. Dia lebih suka menjalani kehidupan yang dipilihnya sendiri. Walau sedikit kecewa Adipati Tuban agak terhibur, sebab suami Dewi Rasawulan juga bukan orang sembarangan. Empu Supa adalah seorang Tumenggung Majapahit yang terkenal. Cucu yang lahir dari keturunan Empu. Akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan agama Islam di Jawa tengah hingga ke Jawa Barat. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggal nya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak.
4. JASA SUNAN KALIJAGA.
Jasa Sunan Kalijaga sangat sukar dihitung karena banyaknya. Beliau dikenal sebagai Mubaligh, ahli seni, budayawan, ahli filsafat, sebagai Dalang Wayang Kulit dan sebagainya. Untul lebih detailnya para pembaca dipersilahkan membaca literatur berjudul Sunan Kalijaga yang ditulis oleh saudara Umar Hayim, diterbitkan oleh Menara Kudus.
Di dalam buku tersebut diuraikan dengan lengkap jasa dan karya Sunan Kalijaga.
Di dalam buku ini kami nukilkan sebagian kecil dari karya dan jasa Sunan Kalijaga.
A. SEBAGAI MUBALIGH.
Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara. Sementara Wali lainnya mendirikan pesantren atau pedepokan untuk mengajar murid-muridnya.
Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerima kedatangannya dengan senang hati.
Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan dianggap bid’ah tidal langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima agama Islam, mau mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang bertentangan dengan agama Islam.
Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama Islam.
B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.
Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-lain.
a. Seni Pakaian :
Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.
b. Seni Suara :
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan.
c. Seni Ukir :
Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.
Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.
d. Bedug atau Jidor di Mesjid :
Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.
e. Gerebeg Maulud :
Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.
f. Gong Sekaten :
Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna :di sana di situ, mumpung masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.
g. Pencipta Wayang Kulit :
Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;
Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.
h. Sebagai Dalang :
Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.
Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.
Dalang dari kata “dalla” artinya menunjukkan jalan yang benar.
i. Ahli Tata Kota :
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan Kalijaga dalam membangun Tata Kota.
Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiridari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin
4. Masjid

Letaknya juga sangat teratur, bukan sembarangan.Alun-alun ;berasal dari kata “Allaun” artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua kali “Allaun-allaun” yang maksudnya menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di pusatkota.
Waringin : dari kata “Waraa’in artinya orang yang sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama yang dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi. Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan tariqat dan ma’rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam.
Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.
Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnya.
Baca Selengkapnya - Sejarah Sunan Kalijogo


ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Update Status FB

Share!!